Kamis, 26 November 2015

Disiplin Waktu Ala Jepang


Disiplin Waktu Ala Jepang
By. Kusmawati Sensei
Pengajar Bahasa Jepang SMKN 3 Probolinggo

Jepang sangat terkenal karena masyarakatnya yang mempunyai disiplin yang sangat tinggi. Bagaimana asal muasalnya? Dirunut ke akarnya, ternyata salah satu budaya Jepang ini berasal dari budaya bercocok tanam padi. Negeri sakura ini memiliki empat jenis musim setiap tahunnya, sehingga mereka hanya dapat memanen padi sekali dalam setahun.
Dengan kondisi demikian, para petani Jepang jaman dahulu dipaksa dan harus berdisiplin waktu agar padi yang mereka tanam dapat dipanen sesuai dengan waktunya sesuai dengan musimnya. Bila gagal panen mereka tidak bisa makan nasi selama setahun. Waktu tanam harus sesuai dan pas jadwal yang telah ditetapkan.
Kebiasaan bertahun-tahun dalam bercocok tanam membuatnya menjadi suatu kebiasaan dan budaya bagi masyarakat Jepang. Segala sesuatunya dibuat berdasarkan waktu yang telah diatur. Jadwal kedatangan kereta, bus dan alat transportasi lainnya dibuat secara presisi sehingga membuat kepastian bagi orang yang hendak bepergian dari suatu tempat ke tempat lainnya. Sebagai contoh, jadwal bus dalam kota, dibuat berdasarkan study statistik, dengan pengamatan selama beberapa waktu. Jarak tempuh, jumlah rata-rata kendaraan yang melewati rute tersebut, jumlah pemilik kendaraan di sekitar jalan tersebut sampai dengan batas toleransi kemacetan menjadi faktor untuk menentukan jadwal kedatangan dan keberangkatan bus pada setiap halte. Alhasil, penumpang dapat memastikan kapan bus datang atau pergi. Jadwal tersebut biasanya berbeda antara hari biasa dan akhir pekan karena jumlah kendaraan yang lalu lalangpun berbeda.  Jadwal transportasi umum mudah didapatkan pada setiap tempat pemberangkatan atau tercantum pada setiap halte/stasiun. Dengan berkembangnya teknologi, jadwal tersebut juga bisa diakses melalui internet.
Jepang juga taat pada standar waktu. Jadwal pelajaran/kuliah per hari di setiap kampus/sekolah dibuat sama. Penunjuk waktu pada tempat umum juga dapat dipastikan sama waktunya. Untuk jam elektronik di tempat umum seperti stasiun kereta dibuat terpusat agar memudahkan pengaturan standarisasi waktunya. Penunjuk waktu pada setiap stasiun televisi juga sama dan standar. Bandingkan dengan waktu kumandang adzan Magrib di setiap stasiun televisi kita yang berbeda-beda waktunya. Walaupun hanya berbeda sekian menit atau detik tapi tetap tidak serentak. Mungkin lebih mudah pada waktu hanya ada satu televisi di republik tercinta ini, TVRI. Kita bisa menstandarisasi waktu kita dengan acara “Dunia Dalam Berita” yang disiarkan tepat pada pukul 9 malam.
Begitu menghargainya orang Jepang terhadap waktu, kalau anda bertanya suatu jarak atau lokasi sebuah tempat, biasanya mereka menjawab dengan patokan waktu. Misalnya, 7 menit berjalan kaki dari stasiun atau 8 menit bersepeda dari kantor polisi. Kalau kita perhatikan, panjang waktu yang mereka tunjukkan juga sangat presisi. Coba bandingkan dengan di negara kita, biasanya apabila ditanya soal waktu, jawabannya adalah 5 menit, 10 menit atau pembulatan waktu pada kelipatan 5 atau yang mudah dihitung. Waktu yang ditunjukkan belum tentu pas, tercermin dengan kata “kira-kira” pada awal kalimatnya.
Begitulah masyarakat Jepang menghargai waktunya. Dengan kedisiplinan terhadap waktu mereka lebih mudah melakukan suatu rencana pekerjaan yang pada akhirnya membuat segalanya menjadi efisien.
Disiplin masyarakat masih merupakan salah satu problem bangsa ini karena kesadaran masyarakat untuk berdisiplin masih rendah. Banyak dari mereka tidak menyadari bahwa kesadaran berdisiplin akan kembali kepada kenyamanan mereka juga dalam menikmati jasa. Banyak contoh ketidaknyamanan atau bahkan keruwetan yang muncul akibat disiplin masyarakat yang rendah, mulai dari tertib antri, buang sampah, bahkan sampai perilaku yang sangat membahayakan nyawa mereka sendiri seperti naik ke atap KRL.
Memang kesalahan jangan ditimpakan seluruhnya kepada masyarakat, namun pemerintah sebagai perumus kebijakan dan peraturan juga layak disalahkan, karena kunci utamanya memang seharusnya ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Beberapa waktu yang lalu seorang teman yang kuliah di Negeri Sakura (Jepang) menceritakan tentang budaya disiplin dalam membuang sampah, yang mungkin bisa jadikan salah satu model untuk belajar bagi kita.
Di negeri Jepang selalu dikampanyekan slogan Utsukushi kuni (Negara Jepang yang cantik), meskipun di setiap sudut negeri ini sudah terlihat bersih. Kebersihan memang menjadi ciri utama Jepang, yang rasanya sulit di jumpai di negara lain. Disiplin dalam membuang sampah telah membudaya di masyarakat. Baru-baru ini Chukyo University, salah satu universitas di Jepang mengeluarkan edaran mengenai terbentuknya Gomihiroi-tai di kampus. Gomihiroi-tai artinya pasukan pemungut sampah yang bertujuan mewujudkan kampus Chukyo sebagai yang tercantik di Jepang. Saat ini anggota pasukan ini mencapai 85 orang sukarelawan dan sukarelawati kampus. Edaran ini meminta partisipasi dari para dosen dan staf agar bergabung di pasukan ini. Saat bergabung calon anggota pasukan itu harus mematuhi aturan-aturan sebagai berikut:
1.    Sampah yang jatuh di kampus harus dipungut dengan tangan kosong (sude), tidak boleh memakai alat. Memungut kotoran anjing/kucing hanya diperuntukkan bagi mereka yang bernyali besar saja (yuuki no aru hito)
2.    Jika menemukan puntung rokok atau permen karet, anda tidak boleh pura-pura seolah tidak melihatnya
3.    Saat berjalan kaki di kampus, anda harus memperhatikan jika ada sampah yang harus dipungut dalam area sekitar anda pada radius 10 meter
4.    Jika anda melihat sampah jatuh di halaman kampus, anda tidak boleh mengumpat Daregasuteta! Bakayaroo! (siapa sih yang buang sampah ini?!... bego amat sih...!!). Anda harus memungut sampah itu dengan senang dan hati ringan.
5.    Saat memungut sampah itu, anda tidak boleh merasa malu atau merasa kurang pantas (kakko warui). Pungutlah dengan wajah ceria dan senyum di wajah.
Selain itu ada pula beberapa catatan sebagai berikut:
•    Tidak ada pungutan biaya untuk menjadi anggota Gomihiroi-tai
•    Tidak akan ada perintah/komando dari pemimpin pasukan
•    Jika ingin keluar dari pasukan, silahkan keluar sewajarnya
•    Jika anda melanggar aturan yang ditetapkan, maka sesalilah sendiri kesalahan anda itu di kamar gelap
•    Tidak ada batasan maksimal jumlah anggota, usia, tinggi badan, maupun jenis kelamin
•    Aksi dilakukan perorangan. Tidak akan ada aksi bersama/serentak.
Setelah mendengar cerita kawan tersebut saya berkomentar dalam hati "Itu kan di Jepang, negara yang sudah maju... mau di contoh apanya? sulit di terapkan di negara kita, terutama isi aturannya yang aneh dan lucu... masih jauh dari kondisi negara kita saat ini..... Tapi kita tidak boleh pesimis, semua kuncinya ada pada kemauan toh.. Kalau kita mau dan semua orang juga mau apa yang gak mungkin..? Jepang aja bisa.... masa kita tidak bisa, ya tho...????" Siswa SMKN 3 Probolinggo BISA!!!!
Ja. Mata. Sayounara…..

0 komentar:

Posting Komentar